COLIVING: Solusi Untuk Millennial Yang Kesepian, Atau Hanya Sekedar Jargon Marketing Belaka?
Semakin kesini, semakin sering muncul jargon-jargon baru untuk merebut pangsa pasar Millenials. Ya betul, Coliving namanya. Suatu temuan yang mulai dipopulerkan dan digaungkan dari berbagai penjuru negara, menawarkan konsep tempat tinggal jangka panjang yang sebenarnya, tidak beda jauh dengan kost-kostan.
Tapi apa sebenarnya sih yang mereka tawarkan?
Coliving mulai banyak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia khususnya Jakarta. Mereka menyebutnya Communal Living space, dimana para tenant berkumpul, tinggal bersama dalam satu apartment, terdiri dari beberapa kamar. Pesan marketing yang biasanya ditemui adalah "A one stop communal living space where you can share similar philosophical values, openness and collaboration".
Such a pretty words to sell a place to sleep. Itupun kalau beruntung mereka punya nilai filosofi yang sama, kalau tidak? Entahlah. Pada umumnya pemilik bisnis coliving menyewa atau membeli beberapa unit apartment dan menyewakan kembali kamar-kamar yang terdapat pada unit tersebut, kepada pihak ketiga.
Jargon Coliving sebenarnya meniru kesuksesan Coworking space yang sempat naik daun beberapa tahun belakangan ini meskipun trend coworking space mulai menurun signifikan, apalagi semenjak tragedi skandal terbesar Wework, yang juga menjual konsep Coliving dengan nama WeLife. Padahal kalau kita mau Tarik nostalgia ke belakang, Coworking Space tidak berbeda jauh dengan Warnet atau “Warung Internet” dikala itu. Pasti anak-anak generasi era 90-an dan awal 2000 yang pernah mengalami nongkrong dan bekerja di Warnet.
Ya, Coworking Space sebenarnya tidak berbeda dengan Warnet. Orang datang kesuatu tempat, sewa cubicle yang ada computer dan internetnya, disuguhi teh dan kopi gratis, dan kalau mau, bisa bersosialisasi bersama. Kalau istilah keren nya, “networking”. Ini Jargon overused yang sudah terlalu sering di romantisasi divisi marketing Coworking dan Coliving spaces, yang pada kenyataannya berbeda di lapangan.
Faktanya, kebanyakan orang tidak merasa nyaman dengan konsep Networking. Orang lebih menghendaki interaksi sosial yang natural dan organik. Tidak memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam suatu komunitas tertentu dan “mengemis” acceptance serta “menjual” dirinya ke orang tidak dikenal untuk mendongkrak jenjang karir. At least, itu kata beberapa study di bidang psikologi dan human interaction, seperti contohnya Study yang dilakukan oleh Universitas di Toronto. But I digress.
Hancurnya bisnis Warnet di kala itu disebabkan oleh kehadiran Wifi dan karena semakin canggihnya telfon selular serta semakin terjangkaunya laptop, sehingga orang menjadi enggan untuk datang ke Warnet. Ini sebetulnya suatu kepunahan model bisnis yang bisa dimaklumi, diakibatkan munculnya perkembangan teknologi baru. Seperti bisnis kamera jadul contohnya, yang masih menggunakan roll film yang kemudian tergantikan dengan keberadaan kamera digital. Atau bisnis taksi offline yang tergerus dengan keberadaan taksi online atau Ojek online.
Lantas kalo kita bicara trend penurunan model bisnis Coworking Space apakah sama dengan warnet? Eits bedaa. Yaa simpelnya bisa dikatakan business model yang buruk saja. Lihat saja contohnya Wework dan WeLife. Menyewa lantai-lantai gedung di lokasi-lokasi CBD strategis di seluruh kota di penjuru dunia, lalu mencharge orang untuk membayar mahal suatu koneksi internet serta teh dan kopi instant gratis. Sesuatu bisnis model yang saat ini sebenarnya sudah bisa diakses oleh siapa saja secara gratis.
Kebanyakan Coworking Space di Jakarta mencharge pengunjung Rp 150.000-200.000/hari. Padahal, kalau kita kerja di coffeeshop, kita sudah bisa dapat hal yang serupa juga. Ambience yang nyaman, serta kualitas kopi yang bukan kaleng-kaleng, dan makanan yang lebih berkualitas dan sudah include wifi tentunya.
LANTAS APA YANG MEMBUAT COWORKING DAN COLIVING SPACE SEBEGITU NAIK DAUNNYA? - JARGON.
Ya jargon. Ditambah
bumbu-bumbu viral internet marketing, menyajikan foto instagrammable, menjual
mimpi bahwa “anyone can be a digital
nomads”, connecting people (seperti
hape Nokia), Networking and share similar
values. Tapi pertanyaan selanjutnya, apakah itu satu-satunya kebutuhan dan
keinginan semua orang? Tentunya tidak.
Begitupula dengan
konsep Coliving. Banyak yang bertanya apa bedanya Coliving dengan kost-kostan? Jika
kita coba conduct simple google search, banyak artikel-artikel yang membahas
keunggulan Coliving dibandingkan dengan kost-kostan, artikel yang tentunya,
ditulis oleh website penyedia jasa Coliving itu sendiri.
Konsep Coliving yang
di tawarkan di Jakarta pada prinsipnya adalah si landlord atau si pemilik bisnis coliving, menyewa atau membeli beberapa
unit apartment yang berisi beberapa kamar, lalu kamar-kamar tersebut mereka
sewakan kembali ke pihak ketiga. Penyewa bisa menyewa sendiri satu kamar, atau
apabila ingin lebih ekonomis, mereka bisa sharing per setiap kamar dengan orang
lain. Harga sewa tergantung fasilitas yang di dapat. Selling point yang mereka jual?
Ya itu tadi. Dalam satu apartement akan ada beberapa orang, yang bisa saling
bertukar pikiran, values, etc. Mereka bisa ngobrol-ngobrol jika keluar kamar,
pas di kitchen atau hangout di living room. Basically it’s a “dormitory for adults”.
Lagi-lagi kita
ditabrakkan dengan istilah “community”, “collaboration”, “values” dan
jargon-jargon similar lainnya. Kok dejavu yaa. Padahal sebenarnya, jika ditanya
bedanya apa Coliving dengan kost-kostan, bisa dikatakan tidak ada bedanya sama
sekali. Perhaps more expensive and less
privacy, if I may add. Especially for Introverts or basically someone who value
their privacy more.
Kost juga bisa menawarkan hal yang serupa, dengan harga yang jauh lebih ekonomis, kalian juga bisa bersosialisasi dengan penyewa kamar kost yang lain jika mau, berteman, berkolaborasi, networking dan lain-lain. Hanya saja Coliving pilihan lokasinya biasanya adalah gedung apartement yang terdiri dari beberapa unit.
MAU COLIVING ATAUPUN KOST, BALIK LAGI KE MUARANYA -- LOKASI MENENTUKAN PRESTASI.
Tidak perlu repot-repot dan dibuat njelimet. Baik Kost-Kosan maupun Coliving, semuanya kembali ke satu hal yang terpenting. LOKASI! LOKASI! LOKASI!
Semakin strategis
lokasinya, semakin dekat dengan tempat anda bekerja, ditambah fasilitas yang
lengkap dan nyaman dan akses kemana-mana yang dekat, itu sudah cukup. Tidak perlu
kemakan jargon sophisticated. Sometimes
what we need is quite simple and already right in front of your eyes.
BEBERAPA HAL YANG PERLU UNTUK DIPERTIMBANGKAN JIKA ANDA INGIN BERGABUNG DENGAN COLIVING SPACE
Kejelasan Status Hukum Unit Coliving
Pastikan status legal unit tempat anda tinggal itu tidak menimbulkan masalah di depannya. Banyak penyedia jasa Coliving tidak memiliki lokasi atau unit apartement. Mereka menyewa, lalu mereka menyewakan kembali setiap kamar kepada anda. Perlu diingat bahwa ini ada implikasi hukumnya di Indonesia. Suatu objek sewa itu dilarang untuk di sewakan kembali, kecuali si penyedia jasa Coliving sudah diberi izin sebelumnya oleh si pemilik property atau gedung. Mengapa? Karena jika terdapat masalah pada kontrak sewa utamanya, maka pihak penyewa layer bawahnya akan terimplikasi.
Ini sering terjadi, dimana Landlord Coliving diputus secara sepihak oleh pemilik unit apartment karena dianggap melanggar perjanjian, sehingga tenant atau klien Coliving tersebut terpaksa terusir dan mencari tempat hunian baru dalam waktu singkat. Dan biasanya, Perjanjian kalian jadi dianggap batal demi hukum dan dianggap tidak sah, dan kalian jadi terbengkalai. Pastikan ini jangan sampai terjadi.
PRIVASI SESAMA PENYEWA COLIVING YANG BERPOTENSI TERLANGGAR
Terlepas dari “jargon-jargon” co-living yang mereka jual, perlu disadari juga bahwa tidak semua tenant punya konsep atau tata cara hidup serta habit yang serupa, dan ini berpotensi menimbulkan implikasi yang buruk antar sesama pihak penyewa untuk jangka panjangnya.
Let’s call a spade a spade. Some people are simply shitty and selfish in nature. Berbeda dengan konsep Kost, dimana landlord biasanya memiliki domestic helper yang tinggal di kamar terpisah untuk membersihkan lokasi setiap hari, Coliving justru mengedepankan konsep “gotong-royong”. Sounds perfect in theory, namun pada praktiknya, some people won’t clean up after themselves. Belum lagi beberapa habit yang mungkin juga bisa menimbulkan friksi, seperti pada saat mereka membawa “teman satu malam” atau pulang dini hari dalam keadaan mabuk, atau menyelenggarakan party di apartemen dan menganggu ketenangan tidur atau konsentrasi anda bekerja. Bagaimanapun juga, basic etiquette are still essentials.
LOKASI APARTEMEN COLIVING YANG TIDAK STRATEGIS
Seperti yang sudah pernah dijelaskan sebelumnya, baik Kost maupun Coliving keunggulan utamanya kembali lagi terletak pada Lokasi. Seperti layaknya kost-kostan, ada banyak juga apartment yang disewa sebagai coliving sebenarnya tidak begitu strategis. meskipun seolah-olah lokasinya nampak dekat dengan pusat perkantoran seperti Sudirman, Thamrin dan SCBD, namun tetap jauh dari akses berjalan kaki dari lokasi essential lainnya seperti transportasi public Busway, MRT dan Malls. Malah Justru keberadaan kost-kostan yang lebih banyak variasi dan pilihan pada umumnya terdapat di lokasi perumahan di belakang mall atau dekat dengan Central Business District (CBD) dan gedung perkantoran, yang bisa jadi lebih unggul daripada Coliving.
Tapi itu semua kembali lagi tergantung kepada pilihan dan availabilitas. Jumlah tower apartemen biasanya tidak banyak pilihan, tidak sebanyak kost-kostan. Pastikan lokasi apartemen coliving anda benar-benar mudah diakses dengan walking distance menuju transportasi public dan pusat bisnis esensial seperti malls dan sebagainya.
Tidak ada seorang pun yang ingin waktunya habis terjebak di kemacetan khususnya di Jakarta. Lokasi yang jauh dari pusat kota dan perkantoran juga akan semakin membuat biaya hidup membengkak dan waktu terbuang. Setiap hari menyewa Ojol atau membeli bensin itu biayanya lumayan lho. Siapa tahu, lokasi Kost yang strategis yang bisa dengan mudah cukup berjalan kaki menuju MRT atau busway station, atau juga Gym dan pusat perbelanjaan justru adalah pilihan yang lebih ekonomis yang justru anda butuhkan.
HARGA SEWA COLIVING YANG MAHAL
Coliving yang ditawarkan pada umumnya harganya berkali lipat dari harga sewa kamar Kost. Harga yang mahal tersebut biasanya karena mereka memiliki fasilitas yang sudah otomatis di dapat di Apartment, seperti kolam renang dan parkiran mobil.
Semuanya kembali lagi sesuai kebutuhan si penyewanya itu masing-masing. Biasanya, Coliving lebih banyak di isi oleh kaum expatriate, yang memang membutuhkan fasilitas lengkap serta meninginkan adanya kesempatan bersosialisasi dengan teman sesama expatriate-nya untuk berbagi informasi. Ya hal ini wajar saja, karena mereka tinggal di Negara asing dengan sedikit kenalan, dan mungkin networking adalah suatu kebutuhan bagi mereka.
Sedangkan Kost biasanya diisi oleh kaum non-expatriate yang sudah punya rumah atau tempat tinggal pribadi, namun menginginkan kamar yang berlokasi strategis dekat dengan kantornya untuk terhindar dari macet serta memperoleh efisiensi waktu. Jika anda adalah tipe yang seperti ini, maka mungkin anda tidak perlu mengeluarkan uang lebih banyak lagi untuk menyewa Coliving space. Sebuah kamar yang nyaman dengan privasi yang terjaga di lokasi yang strategis mungkin sudah sangat cukup anda temui di kost-kostan yang lokasinya strategis, fasilitas lengkap dan harga yang jauh lebih murah.